Dalam perjalanan dari bandara La Aurora International Airport menuju hotel kami melewati pusat keramaian kota, kebetulan saat itu hari sabtu malam, banyak muda-mudi yang bergerombol, bercanda, tertawa di depan kafe-kafe. Mereka kelihatan moden, yang perempuan rata-rata berwajah cantik dengan pakaian yang seksi ala Amerika. Menurut pemandu kami mereka umumnya berasal dari suku Mestizo atau disebut juga Ladinoz, perpaduan Ameridian (Amerika-Indian) dan Spanyol. Lalu lintas pun sangat ramai, apalagi sebagian dari mereka menghidupkan musik dan membunyikan klakson kencang-kencang...
Sesampai di hotel Mariott, saya sempatkan mengambil brosur mengenai profil negara ini. Guatemala, dengan ibu kota Guatemala City berada di Laut Karibia terletak di antara Honduras dan Belize serta antara El Salvador dan Mexico di Samudra Pasifik. Guatemala berasal dari kata Cuauhtemallan yang berarti daerah dengan banyak pepohonan. Guatemala City sebelumnya, sekitar 9000 tahun yang lalu adalah kota suku Maya kuno yang bernama Kaminaljuyu.
Guatemala berpenduduk lebih kurang 11,4 juta jiwa dengan bahasa Spanyol dan Inggris sebagai bahasa sehari-hari disamping terdapat 23 jenis bahasa Mayan. Mata uang yang dipakai adalah Quetzal (1 US$ = 8 Qzl), tetapi mereka menerima apabila kita bertransaksi menggunakan dolar Amerika. Quetzal, selain dipakai sebagai nama mata uang resmi juga merupakan nama burung nasional Guatemala.
Esok harinya, kami sempatkan untuk melihat-lihat pusat kota. Kota ini dibagi dalam 25 zona, yang terkenal antara lain Villa Nueva dan Santa Catarina yang berkembang menjadi daerah pemukiman. Jantung/pusat kotanya terdapat di Zona Viva (The Lively Zone), di mana semua kegiatan bisnis dan hiburan berlangsung. Di daerah ini terdapat deretan restoran, dari steak, Italian hingga Mexican.
Sedangkan di Zona I, atau disebut juga Centro Historico terdapat National Palace, Metropolitan Catedral, National Congress, Presidential House dan Miguel Asturias Cultural Center. Metropolitan Catedral mempunyai menara kembar yang dibangun tahun 1815 dengan arsitektur neo-klasik. Katedral ini tetap berdiri kokoh walaupun 3 kali gempa melanda kota ini di tahun 1830, 1917 dan 1976.
Tujuan kami selanjutnya adalah mengunjungi National Palace. Bangunan ini terkesan megah dan indah dengan perpaduan arsitektur Renaissance, neo-klasik dan Baroq. Menurut brosur yang saya baca, seluruh lantainya (+/- 8.890 sq m) dilapisi dengan granit. Gedung ini dibangun antara tahun 1928 - 1943, saat ini dibuka setiap hari untuk umum dan merupakan tujuan wisata paling popular. Ada 2 tempat tempat yang `harus` dikunjungi ditempat ini, La Sala de Recepcion (The Reception Hall) dan Presidential Balcony.
Pedagang souvenir di Centro Historico
Dengan perut kenyang kami kembali ke hotel untuk istirahat sebentar karena besok pagi-pagi sekali kami harus bangun. Jam 5 pagi kami harus sudah berkumpul di lobi hotel untuk berangkat ke airport menuju Tikal. Hanya 60 menit dengan pesawat udara (Tikal Airlines) dari Guatemala, kami sampai di Flores ibukota Tikal. Bandaranya mirip dengan bandara Adi Soemarmo di Solo, cuma bedanya di lobi dipenuhi oleh stand-stand agen perjalanan yang menawarkan wisata ke Tikal.
Di bandara sudah menunggu pemandu kami, Luis yang akan memandu kami selama 1/2 hari ini menjelajah Tikal. Dengan bis mini selama +/-1 jam kami pun tiba di El Peten Jungle di Tikal yang dinyatakan sebagai Taman Nasional Tikal, di mana tersebar kuil-kuil peninggalan suku Indian Maya.
The Plaza di kompleks candi Tikal
Ekspedisi menggali kebudayaan Maya pertama kali dilakukan oleh Modezto Mendez dan Ambrosio Tut di tahun 1848. Saat ini Tikal masih di bawah penelitian Universitas Pennsylvania. Peninggalan kuno ini tersebar di +/- 220 sq mil di hutan Peten sampai di Belize yang juga di huni oleh kera, burung-burung tropis, kalkun, kucing hutan, ular, rakun serta pohon-pohon yang berumur sangat tua. Kami jadi paham sekarang, mengapa Luis meminta kami untuk memakai baju dan sepatu keds yang nyaman. Ternyata kami diajak berjalan kaki membelah hutan Peten dengan menyusuri jalan setapak dan mengunjungi kuil-kuil suku Maya yang tersebar di hutan Peten ini!.
Luis menunjukkan kepada kami pohon langka yang berumur sangat tua, Ceiba Tree, cabang-cabangnya berbentuk seperti laba-laba daunnya nyaris gundul, yang dinyatakan sebagai pohon nasional Guatemala, juga Chicocapote (chewing gum tree) dan Amate Tree yang dipakai sebagai pengganti kertas.
Kuil-kuil Maya dibangun dari batu kapur yang disusun berbentuk piramid. beberapa diantaranya berwarna merah. Antara satu kuil dengan lainnya jaraknya berjauhan. Di beberapa kuil masih tersisa potongan-potongan balok kayu asli yang sangat tua. Luis melarang kami memegangnya karena keringat kita dapat ikut merusak kayu tersebut.
Kuil pertama yang kami kunjungi adalah The Twin Pyramid di kompleks Q yang terletak di dekat `pintu masuk` hutan Peten. Selanjutnya adalah The Great Plaza yang merupakan plaza utama.. Di sini tersebar beberapa kuil diantaranya Temple of Giant jaguar (Temple I), Temple of the Mask (Temple II) yang dibangun oleh Ah Cacao/King Chocolate di tahun 682-734 SM serta Temple of the Jaguar Priest. Di kompleks ini terdapat singgasana dan kamar pemimpin suku Maya yang semuanya terbuat dari batu. Saya sempatkan untuk duduk dan berpose sejenak di singgasana ini. Singgasana batu ini cukup besar dengan undakan tangga yang besar dan lebar.
Di Plaza of the Lost Word yang dibangun tahun 500 SM kami dibuat takjub. Di sini terdapat bangunan kuno yang mereka pakai sebagai penunjuk kalender. Betapa mereka jaman dahulu sudah dapat memperhitungkan musim berdasarkan peredaran bulan dan bintang. Menakjubkan!
Di North Acropolis, dibangun sekitar tahun 800 SM) terdapat makam suku Maya, di dalamnya tersimpan kerangka, gerabah dan hiasan dari batu jade hijau. Setelah +/- 3 jam berjalan kaki `menembus waktu` di hutan Peten, Luis membawa kami singgah di restoran, tepatnya warung makan yang terbuat dari kayu (masih di lokasi taman nasional hutan Tikal) untuk makan siang. Menu ayam panggang, sup labu dan nasi gurih yang konon makanan khas suku Maya kami santap dengan lahap, rasanya lezat sekali. Konon pula, Luis maupun pemilik restoran tersebut merupakan keturunan suku Maya, dengan ciri khas bentuk hidungnya yang `tinggi` dan bentuk tubuh yang agak pendek.
Perjalanan ini diakhiri dengan mengunjungi pasar seni yang terletak di pintu masuk taman naional Tikal, berbagai macam barang kerajinan khas Guatemala di jual di sini. Kain-kain dengan motif dan warna-warna terang, sulaman motif Indian Maya, aksesoris dan lain-lain, tetapi harganya relatif lebih mahal di banding di Guatemala City.
Sebelum kembali dengan Tikal Airline ke Guatemala City pukul 17.30, Luis masih sempat mengajak kami menengok sejenak kota Flores. Flores seakan akan terletak di tengah danau Peten Itza. Jalannya berkelok-kelok, sempit dan agak berdebu. Dengan menyewa Launcha (perahu kayu) turis dapat mengunjungi kebun binatang yang ada di pulau Petencito, pulau kecil di danau Peten Itza.
Penulis dan keluarga di depan candi. Dari foto ini anda bisa bayangkan betapa besarnya candi di Tikal
Memasuki bandara Flores kami disambut alunan Marimba - instrument khas Guatemala yang terbuat dari kayu, mirip dengan Kolintang - seolah-olah mengucapkan selamat tinggal dan berharap suatu saat kami kembali.
Tak terasa perjalanan menembus waktu di Nikaragua dan Guatemala berlalu, dengan pesawat TACA airlines yang akan transit di San Salvador, El Salvador kami kembali ke New York. Kembali dengan rutinitas keseharian kami....
(Ny. Rini Hariyanta)
Artikel ini pernah dimuat di kolom Community Kompas Cyber Media - Redaksi
No comments:
Post a Comment