29 June, 2007

Teknik dan Pendekatan Sistemik dalam Perkawinan & Keluarga

Teknik Dan Pendekatan Sistemik Dalam Perkawinan dan Keluarga

Oleh: Dra. Ira Petranto, Psi*
Dibawakan pada:Pertemuan DWP KJRI New York 21 Juni 2007


Ada banyak pendekatan dan teori dalam perkawinan dan keluarga, dari zaman baheula Sigmund Freud dengan aliran Psikoanalisanya (yang masih kita kenal hingga kini dengan hypnosisnya) hingga pendekatan kontemporer popular semacam nasihat-nasihat yang dibawakan oleh Dr. Phil yang sering kita saksikan di CBS TV. Namun yang akan dibicarakan disini adalah pendekatan sistemik yang saat ini menjadi pendekatan yang sangat digemari di lingkungan psikolog, karena sifatnya yang sederhana namun menyeluruh dan memberdayakan.
Apa yang disebut dengan Pendekatan Sistemik?

Ibu-ibu DWP PTRI, KJRI dan Perbankan di New York asyik menyimak presentasi yang dibawakan oleh Ny. Ira Petranto.




Manusia terbiasa berpikir linear, yaitu suatu garis lurus yang menghubungkan antara sebab dan akibat. Ini adalah cara berpikir yang diwariskan oleh nenek moyang kita sejak zaman Einstein. Logika sangat di-dewa-dewakan dalam mencari jawaban terhadap suatu permasalahan. Sehingga apabila ada suatu permasalahan, manusia selalu mencari penyebab dan asal muasalnya. Namun terutama untuk masalah dalam perilaku, seringkali pada akhirnya manusia menjadi frustrasi karena penyebabnya tidak mudah untuk ditemukan. Sehingga persoalan tidak kunjung selesai. Penekanan sistemik, sebaliknya, adalah pendekatan yang menekankan pada system yang terjadi disekeliling masalah tersebut. Dengan demikian, untuk memahami suatu permasalahan, dilihat bagaimana peran orang-orang yang berkaitan dengan masalah tsb, bagaimana bentuk-bentuk interaksi yang terjadi, dan bagaimana system nilai yang terbentuk di lingkungan tersebut. Termasuk di dalam system yang dimaksud adalah kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di dalam keluarga, pengharapan-pengharapan, tradisi, serta kepercayaan-kepercayaan yang dibawa dari generasi ke generasi.


Ny. Ira Petranto saat menyampaikan presentasinya



Perbedaan antara pendekatan linear dan sistemik/sirkular.
Orang yang berpikir linear cenderung untuk berfokus pada sebab akibat, sehingga mau tidak mau dalam hal ini ada pihak yang menjadi “tertuduh”. Sementara orang yang berpikir sistemik cenderung untuk melihat hubungan-hubungan dan proses yang terjadi di antara pasangan, keluarga dan konteks social. Pengaruh dari cara berpikir linear dengan demikian adalah bersifat menyalahkan orang lain, mengkritik dan merendahkan orang lain, serta mempertahankan diri sendiri. Sementara pengaruh dari cara berpikir sirkuler membuat orang lebih mampu untuk melihat bagaimana interaksi akan berpengaruh terhadap suatu masalah, termasuk peran diri sendiri, peran pasangan, peran keluarga dan peran lingkungan social.

Keuntungan seseorang berpikir secara sirkuler.
Keuntungan berpikir secara sirkuler diantaranya adalah pemberdayaan diri sendiri. Karena dengan menyadari peran diri sendiri dalam setiap permasalahan, maka siapapun mampu membuat perbedaan, mengubah keadaan dari merugikan menjadi menguntungkan. Masalah bisa tidak lagi dipandang sebagai kendala, melainkan suatu kesempatan untuk mempelajari pasangan atau anggota keluarga lainnya secara lebih mendalam. Oleh karena itu setiap permasalahan seyogyanya menjadikan pasangan lebih mengenal pasangannya secara lebih mendalam.
Beberapa Teknik untuk menyehatkan perkawinan dan hubungan keluarga berdasarkan pendekatan sistemik. Oleh karena dalam pendekatan sistemik terkandung unsur-unsur individu (diri sendiri), pasangan, serta keluarga baik keluarga inti maupun keluarga dari generasi ke generasi, maka teknik yang dibutuhkanpun berkisar diantara individu, interaksi dengan orang lain, dan pemahaman system-sistem yang terkandung dalam keluarga yang dibawa dari generasi ke generasi, serta system yang ada di masyarakat. Dalam diskusi kali ini, kita akan membatasi pada teknik untuk individu dan untuk interaksi.

Teknik Individual/Intrapsikis.
Teknik individual atau intrapsikis adalah teknik menata diri sendiri secara psikologis sebelum menjangkau interaksi dengan pasangan/ anggota keluarga. Teknik individual ini disebut teknik Reframing, yaitu teknik untuk mengubah cara pandang atau memberikan atribusi/ sifat-sifat yang berbeda terhadap perilaku/ kejadian yang sama. Hal ini dilakukan untuk memudahkan perubahan pada sikap dan perilaku diri sendiri. Reframing biasa disebut juga: relabeling, redefinition, seeing the good, positive connotation, ascribing noble intention, non-blaming, context marker. Tentunya perilaku/kejadian yang direframe adalah perilaku/ kejadian yang bersifat simptomatik/ bermasalah. Dan reframe yang dimaksud adalah dengan cara memberikan label yang lebih positif terhadap perilaku atau kejadian yang bermasalah tersebut.

Ada beberapa macam teknik reframing. Yang akan dibicarakan disini adalah teknik Kognitif, yaitu berpikir dengan cara yang berbeda. Teknik kognitif dipelopori oleh antara lain Albert Ellis dengan teori REBT (Rational Emotive Behavior Therapy) dan Aaron T Beck dengan Cognitive Therapynya. Teori REBT percaya bahwa manusia dapat merubah jalan hidupnya dengan mengubah pemikiran-pemikiran irasional yang ada dalm benak manusia. Sedangkan Cognitive Therapy menekankan adanya distorsi kognitif (pemikiran-pemikiran yang merusak) yang menjadi penghalang manusia memecahkan permasalahannya. Keduanya percaya bahwa apa yang dirasakan oleh manusia bukanlah disebabkan oleh penyebabnya atau kejadiannya, melainkan adanya suara-suara di dalam hati yang mengakibatkan seseorang berperasaan tertentu. Contohnya, seseorang yang depresi karena bercerai, sebenarnya bukanlah perceraian itu sendiri yang mengakibatkan ia depresi, melainkan self-statementnya terhadap perceraian tersebut yang membuatnya depresi, dan bukan perceraian itu sendiri. Oleh sebab itu, respons orang terhadap perceraian tidak selalu depresi, bisa saja justru merasa terbebaskan dari belenggu J.

Beberapa distorsi kognitif menurut Aaron T Beck yang umum sebagai self statement adalah (dipopulerkan oleh David Burns, 1980):
1. Dikotomi all or nothing. Contoh: “Dia benar-benar pecundang”
2. Over generalisasi (menarik kesimpulan dari suatu kejadian)
3. Filter mental (satu kejadian negative mewarnai seluruh kejadian berikutnya)
4. Discounting positives (perubahan positif tidak diterima sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh)
5. Jumping to conclusions (melompat pada kesimpulan tanpa melalui prosesnya)
6. Magnification (melebih-lebihkan bobot suatu kejadian)
7. Emotional reasoning (logika berdasarkan emosi)
8. “Shoulding” (keinginan, pengharapan dijadikan keharusan)
9. Personalizing (merasa bertanggung jawab terhadap sesuatu yang berada di luar kontrolnya) Distorsi kognitif pada umumnya bersifat linear. Oleh karena itu, dengan mengubah distorsi kognitif menjadi suatu pernyataan diri (self statement) yang bersifat sirkular, maka perilaku ataupun interaksi kita menjadi bersifat lebih fungsional. Contoh: Dikotomi all or nothing, mungkin dapat digantikan dengan: semua perilaku manusia ada di gray area. Tidak ada orang yang benar-benar pecundang, dan tidak ada orang yang benar-benar cemerlang. Mereka dilabel seperti itu oleh pemikiran orang yang menilainya. Dalam hal ini ada unsur penilai. Ada interaksi. Inilah contoh suatu pemikiran sirkular.


Teknik-teknik Interaksi.
Apabila teknik individual reframing telah dikuasai, maka teknik interaksi lebih mudah untuk dipahami dan dijalani. Teknik interaksi adalah teknik menata cara kita berinteraksi dengan orang lain, sehingga lebih berfungsi dengan baik.
Ada beberapa hal yang menyebabkan interaksi bersifat negative, yang menurut John Gottman (1994) memiliki nilai prediktif terhadap perceraian (di AS). Untuk ukuran kita, setidaknya hal ini memiliki nilai prediktif terhadap ketidak bahagiaan dalam perkawinan atau interaksi pada umumnya:
1. Complaint/ criticism
2. Contempt (menjatuhkan, menghina, menganggap tidak mampu)
3. Defensiveness (melindungi diri dengan cara menyerang, menyangkal, mengeluh, menghindar dari tanggung jawab)
4. Stonewalling (menjaga jarak, berpuas diri, hostile, disapproving, dingin, tidak berminat)Teknik-teknik di bawah ini diharapkan dapat mengurangi/ menghilangkan kecenderungan-kecenderungan negative tersebut.


Teknik Komunikasi.
Komunikasi yang bersifat linear adalah komunikasi yang mencerminkan sebab akibat dan berfokus di luar diri pembicara. Sedangkan komunikasi yang bersifat sirkuler melibatkan dirinya disamping orang lain tersebut dalam suatu hubungan yang bersifat resiprokal.
Berikut ini adalah bentuk-bentuk komunikasi yang bersifat sirkular tersebut:
1. “I” statement.“ Saya pikir..”, “Saya rasa..”, Saya yakin…”, “Saya berharap…” dst. “I” statement mencerminkan bahwa pembicara bertanggung jawab atas perilakunya.“You” statement sebaliknya (“Kamu mengatakan..”, “kamu menjanjikan..”) bersifat blaming atau memancing reaksi perlawanan.
2. Mendengarkan/Listening:Mendengarkan tidak sama dengan diam, mengangguk, mengiyakan.Mendengarkan berarti membiarkan lawan bicara tahu bagaimana kita menginterpretasikan ucapannya. (catatan: no blaming )
3. Validasi:Memahami pembicara secara utuh sebagai manusia yang lengkap dengan kelemahan dan kekurangan. Lawan katanya: mengabaikan (discounting/ being ignored).Mungkin saja memvalidasi sso tanpa menyetujuinya.
4. Editing:Apabila pembicaraan berada pada situasi sulit, sebaiknya dipikirkan dahulu apa yang akan dibicarakan.Lakukan mental rehearsal/ dialog mental terlebih dahulu.
Namun demikian, perlu diingat bahwa ada beberapa kebiasaan diri yang bisa menjadi hambatan untuk melakukan komunikasi efektif, yang perlu diketahui sebelumnya:
1. Mind Reading (Seolah-olah tahu apa yang difikirkan pasangan, tanpa mengecek asumsi tsb.)2. Personalization (Menyerang pribadi lawan bicara, bukan permasalahannya). Dua tipe personalization: labeling & generalisasi.
3. Distracting (Membawa-bawa issue lain pada suatu topik tertentu).
4. Polarized Language (Berpikir salah-benar, selalu-tidak pernah, benar-bohong dst).Rule: Jangan pernah menggunakan kata kata ini untuk komunikasi efektif.
Teknik Resolusi Konflik
Konflik selalu ada selama manusia hidup. Masalahnya bukan bagaimana menghilangkan konflik, melainkan bagaimana mengelola konflik apabila ia muncul. Konflik bisa terjadi terhadap apa saja: terhadap pengharapan, terhadap kebutuhan, terhadap keinginan; mengenai uang, anak, sex, mertua, ipar dst. Bisa diekspresikan secara terbuka, bisa tertutup, dengan berbagai derajat intensitas emosional.

Pengelolaan Konflik
Konflik perlu dikelola secara konstruktif. Ciri-ciri pengelolaan konflik yang konstruktif
- masing-masing pihak mendapatkan apa yang diinginkan
- masing-masing pihak merasa didengarkan pendapatnya
- Masing-masing merasa dimengerti dan dihormati
- Ada perasaan kompeten/ percaya diri
- Membantu kedekatan/keakraban
Pemikiran sistemik akan menunjang pengelolaan konflik yang konstruktif tersebut di atas, sedangkan pemikiran linear menunjang pengelolaan konflik yang destruktif. Contoh: dengan pendekatan sistemik yang menekankan adanya peran semua pihak dalam suatu konflik, maka dalam penyelesaiannya masing-masing pihak merasa didengar pendapatnya, masing-masing merasa dimengerti, merasa kompeten, sehingga masing2 mendapatkan apa yang diinginkan serta membantu kedekatan.

Mengendalikan marah
Langkah terpenting dalam mengelola konflik secara konstruktif adalah mengendalikan marah. Mengendalikan marah adalah salah satu teknik individual yang mempunyai pengaruh besar terhadap hubungan interaksional dengan orang lain apabila ia gagal dikendalikan. Kemarahan identik dengan kehilangan kontrol dan tindakan destruktif. Sehingga kemarahan adalah musuh pengelolaan konflik .

Sebagai teknik individual, hal pertama yang harus kita lakukan adalah me-reframe hal yang menjadi objek marah kita tersebut. Untuk itu, pertama perlu dikenali apa arti dan fungsi marah untuk kita, berapa lama kita biasa marah, dan apa yang biasa kita lakukan apabila marah. Kenali juga kemarahan yang tersembunyi (disguised anger) mis: marah pada diri sendiri, merasa paling bermoral, paling benar, paling baik, dst. Hal-hal ini semua perlu dimengerti terlebih dahulu sebelum me-reframenya.
Kedua, perlu dikuasai prinsip-prinsip Fair Fighting:
- Perasaan perlu diungkapkan di awal. Agar orang lain dapat berespons secara tepat terhadap permasalahan kita.
- Temukan sumber kemarahan. Pastikan bahwa itu adalah sumber yang realistis. (Jangan sampai marah hanya karena pasangan bicara dengan lawan jenis selama 5 menit)
- Semangatnya: win-win. Mengalah sedikit untuk mendapatkan kompromi.
- Penting diingat: tidak saling menyalahkan.
Penutup Pendekatan Sistemik adalah salah satu pendekatan dalam membenahi masalah perkawinan dan keluarga. Pendekatan ini menekankan adanya interaksi peran manusia dalam suatu permasalahan. Suatu permasalahan tidak pernah berdiri sendiri, demikian pula tidak pernah disebabkan oleh satu orang ttt atau satu kejadian ttt. Dengan demikian setiap orang berdaya untuk memecahkan mata rantai permasalahannya. Teknik-teknik yang dikemukakan hari ini, yaitu teknik reframing, teknik kognitif, teknik komunikasi dan teknik resolusi konflik bertumpu pada prinsip prinsip sistemik tsb.

*Penulis/ Pembicara adalah lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada tahun 1984, dan sebelum mengikuti suami penempatan di PTRI New York pada tahun 2006 adalah Konsultan Klinis Dewasa dan Keluarga di Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Staf Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, serta Konsultan Klinis Dewasa & Keluarga di sejumlah klinik, serta penulis dan nara sumber di sejumlah media massa. Buku yang diterbitkan berjudul: “It Takes Only One To Stop The Tango” terbitan Kawan Pustaka (2006) berkisar tentang penyelamatan perkawinan. Saat ini sedang menyelesaikan program studi doctoral dalam bidang psikologi di Southern California University.

No comments: